Sabtu, 27 April 2013

Ketika IBU hanya Tinggal Sebutan Nama...



Beginilah aku, hanya tetap terkurung dalam malam dengan coretan-coretan hati yang tak mampu ku ceritakan melalui kata. Kemudian bunyi sunyi malam menyampaikan rasa resahnya pada air mata yang sekian tangguh ditahan harus meluncur pergi membasuhi pipi tirusku.

            Begitu terus yang membuatku merajuk di kala malam. Saat mata berkejar-kejar ria dengan khayalan dan harapan kosong sebelum melangkah lebih jauh menuju mimpi yang tak ujungku mengerti. Dipikiranku, selalu Tuhanlah yang kujadikan alasan untuk membuatku menjadi hamba yang tak diberi kekuatan untuk mencintai jalan hidupku sendiri. Terlebih lagi keluarga yang menjadi hal terindah dalam hidup, membuatku merasa paling tak diingini. Apalagi Ibu, boleh jadi aku tak mampu mengenal lebih dari hanya sekedar status sebagai Ibu dan Anak.
***
            “Aku mau Bu, mungkin dengan mencium keningku, atau mendengarkan ceritaku, bolehkah Bu?” celotehanku pada  semut yang berjalan di dinding kamarku.
“Tidakkah kau rindu padaku, Ibu? atau hanya sekedar mengucapkan ‘Selamat tidur Nak, semoga Tuhan selalu menguatkanmu dalam tiap keadaan’, hanya cukup seperti itu Ibu?” lanjutku dengan linangan air mata yang tak mampu lagi kubendung dalam kesunyian. Hanya untuk melepaskan rasa kesal ketika dengan begitu cukup bagiku mengutarakan kata pada dinding kamar yang seolah menjadi sahabat paling akrab di tiap keheningan malam.
            Sepertinya kemarin aku tak pernah meminta Ibu untuk mampir sejenak menyaksikan apa yang anaknya kerjakan. Aku juga tak pernah meminta Ibu untuk hanya sekedar mendengarkan banyak hal tentang cerita di tiap hari-hariku. Aku pikir masih ada lima adik lagi dibawahku yang perlu Ibu rawat. Iya, mungkin sistem KB ‘Keluarga Berencana’ yang biasa penguasa singgasana kota gembor-gemborkan itu sedang tak berfungsi dengan baik atau mungkin memang tak pernah berfungsi dengan baik ketika Ibu menciptakan generasi-generasi lebih banyak setelah aku dibiarkan lahir ke dunia ini.
            Ibu, aku tak menginginkan lebih banyak hal lagi padamu. Terlalu manjakah aku hanya karena meminta beberapa hal tentang rasa kasihmu yang hilang semenjak aku tak lagi dirumah kita. Sepertinya sudah sembilan tahun sejak pertama kali aku meninggalkan rumah itu untuk mengejar akademik yang lebih baik di luar sana. Bisa jadi semenjak itu, hanya beberapa kisah kasih akhir yang tertinggal diingatanku tentang indahnya perhatian dan sayang darimu Bu. Lalu aku ingat ketika pertama kali aku masuk ke dunia perkuliahan, hanya menginginkan satu bantuan saja darimu di media telpon, aku harus dimarahi oleh Ayah, Bu.
Ayah bilang, “Untuk apa susah-susah belajar sampai kuliah kalau masih saja minta bantuan ke Orangtua! Seharusnya semakin tinggi ilmu itu, harus semakin mandiri juga menjalani hidup!”
Kemudian setelah perbincangan ditelpon itu usai, aku mengucurkan air mata dengan sesak yang lebih lama, sesaat setelah aku berusaha menahan peluhnya ketika perbincangan itu sedang berlangsung. Aku salah lagi, padahal hanya sebuah permintaan agar saja Ibu memberiku sedikit perhatian lebih banyak, tapi kemudian aku salah lagi. Dan semenjak saat itu, aku tak pernah meminta lagi Bu, aku tak pernah memintamu jauh lebih banyak lagi. Aku membiarkan semuanya berjarak lebih jauh lagi. Hingga aku lupa, aku punya Ibu. Lupa bagaimana rasanya dicintai olehmu Bu. Hanya saja terkadang aku iri, karena harus menerima banyak kata sayang dari sahabat-sahabatku terhadap Ibu yang mereka miliki. Ibu yang selalu mendengarkan keluh kesah anaknya, Ibu yang selalu ada untuk anaknya, Ibu yang menjadi pendengar paling setia ditiap kisah anaknya, Ibu yang tanpa kerut kesal selalu memberi dorongan semangat bagi anaknya. Begitu kata mereka yang membuatku semakin terpuruk dalam ketidakmampuan. Tentang ketidakmampuan bagiku untuk menceritakan kisah Ibu lebih banyak dari mereka.
Ibu, yang aku tau. Kau ada, aku mampu melihatmu saat bertemu, aku mampu menyentuh lenganmu saat kita bersama. Tapi Ibu, kenapa sepertinya aku tak pernah mengenalimu? Bahkan aku merasa jauh lebih akrab terhadap teman-teman mainku daripada Ibu? Bagaimana aku mampu menjelaskan satu hal ini?
***
Aku juga tak mau. Menjadikan jarak dan lama waktu tak bertemu untuk membuatku tak mengenalimu lebih banyak. Aku juga tak mau. Disaat jenjang-jenjang fase perubahan pada pola hidupku kau tidak pernah tau, apalagi tentang hatiku. Aku juga tak mau. Membuatku merasa tak nyaman untuk menceritakan banyak hal terhadapmu hanya karena Ibu tidak pernah mengerti aku. Aku juga tak mau. Terus berusaha tegar padahal disentuh pun aku mampu jatuh dan rapuh seperti abu. Jadi tidakkah Ibu tau?
Aku sedang menangis untukmu.


With silent cry..
Semarang, 24 April 2013

Song: Mariah Carey_When You Believe ..

Read More......

Beginilah aku, hanya tetap terkurung dalam malam dengan coretan-coretan hati yang tak mampu ku ceritakan melalui kata. Kemudian bunyi sunyi malam menyampaikan rasa resahnya pada air mata yang sekian tangguh ditahan harus meluncur pergi membasuhi pipi tirusku.

            Begitu terus yang membuatku merajuk di kala malam. Saat mata berkejar-kejar ria dengan khayalan dan harapan kosong sebelum melangkah lebih jauh menuju mimpi yang tak ujungku mengerti. Dipikiranku, selalu Tuhanlah yang kujadikan alasan untuk membuatku menjadi hamba yang tak diberi kekuatan untuk mencintai jalan hidupku sendiri. Terlebih lagi keluarga yang menjadi hal terindah dalam hidup, membuatku merasa paling tak diingini. Apalagi Ibu, boleh jadi aku tak mampu mengenal lebih dari hanya sekedar status sebagai Ibu dan Anak.
***
            “Aku mau Bu, mungkin dengan mencium keningku, atau mendengarkan ceritaku, bolehkah Bu?” celotehanku pada  semut yang berjalan di dinding kamarku.
“Tidakkah kau rindu padaku, Ibu? atau hanya sekedar mengucapkan ‘Selamat tidur Nak, semoga Tuhan selalu menguatkanmu dalam tiap keadaan’, hanya cukup seperti itu Ibu?” lanjutku dengan linangan air mata yang tak mampu lagi kubendung dalam kesunyian. Hanya untuk melepaskan rasa kesal ketika dengan begitu cukup bagiku mengutarakan kata pada dinding kamar yang seolah menjadi sahabat paling akrab di tiap keheningan malam.
            Sepertinya kemarin aku tak pernah meminta Ibu untuk mampir sejenak menyaksikan apa yang anaknya kerjakan. Aku juga tak pernah meminta Ibu untuk hanya sekedar mendengarkan banyak hal tentang cerita di tiap hari-hariku. Aku pikir masih ada lima adik lagi dibawahku yang perlu Ibu rawat. Iya, mungkin sistem KB ‘Keluarga Berencana’ yang biasa penguasa singgasana kota gembor-gemborkan itu sedang tak berfungsi dengan baik atau mungkin memang tak pernah berfungsi dengan baik ketika Ibu menciptakan generasi-generasi lebih banyak setelah aku dibiarkan lahir ke dunia ini.
            Ibu, aku tak menginginkan lebih banyak hal lagi padamu. Terlalu manjakah aku hanya karena meminta beberapa hal tentang rasa kasihmu yang hilang semenjak aku tak lagi dirumah kita. Sepertinya sudah sembilan tahun sejak pertama kali aku meninggalkan rumah itu untuk mengejar akademik yang lebih baik di luar sana. Bisa jadi semenjak itu, hanya beberapa kisah kasih akhir yang tertinggal diingatanku tentang indahnya perhatian dan sayang darimu Bu. Lalu aku ingat ketika pertama kali aku masuk ke dunia perkuliahan, hanya menginginkan satu bantuan saja darimu di media telpon, aku harus dimarahi oleh Ayah, Bu.
Ayah bilang, “Untuk apa susah-susah belajar sampai kuliah kalau masih saja minta bantuan ke Orangtua! Seharusnya semakin tinggi ilmu itu, harus semakin mandiri juga menjalani hidup!”
Kemudian setelah perbincangan ditelpon itu usai, aku mengucurkan air mata dengan sesak yang lebih lama, sesaat setelah aku berusaha menahan peluhnya ketika perbincangan itu sedang berlangsung. Aku salah lagi, padahal hanya sebuah permintaan agar saja Ibu memberiku sedikit perhatian lebih banyak, tapi kemudian aku salah lagi. Dan semenjak saat itu, aku tak pernah meminta lagi Bu, aku tak pernah memintamu jauh lebih banyak lagi. Aku membiarkan semuanya berjarak lebih jauh lagi. Hingga aku lupa, aku punya Ibu. Lupa bagaimana rasanya dicintai olehmu Bu. Hanya saja terkadang aku iri, karena harus menerima banyak kata sayang dari sahabat-sahabatku terhadap Ibu yang mereka miliki. Ibu yang selalu mendengarkan keluh kesah anaknya, Ibu yang selalu ada untuk anaknya, Ibu yang menjadi pendengar paling setia ditiap kisah anaknya, Ibu yang tanpa kerut kesal selalu memberi dorongan semangat bagi anaknya. Begitu kata mereka yang membuatku semakin terpuruk dalam ketidakmampuan. Tentang ketidakmampuan bagiku untuk menceritakan kisah Ibu lebih banyak dari mereka.
Ibu, yang aku tau. Kau ada, aku mampu melihatmu saat bertemu, aku mampu menyentuh lenganmu saat kita bersama. Tapi Ibu, kenapa sepertinya aku tak pernah mengenalimu? Bahkan aku merasa jauh lebih akrab terhadap teman-teman mainku daripada Ibu? Bagaimana aku mampu menjelaskan satu hal ini?
***
Aku juga tak mau. Menjadikan jarak dan lama waktu tak bertemu untuk membuatku tak mengenalimu lebih banyak. Aku juga tak mau. Disaat jenjang-jenjang fase perubahan pada pola hidupku kau tidak pernah tau, apalagi tentang hatiku. Aku juga tak mau. Membuatku merasa tak nyaman untuk menceritakan banyak hal terhadapmu hanya karena Ibu tidak pernah mengerti aku. Aku juga tak mau. Terus berusaha tegar padahal disentuh pun aku mampu jatuh dan rapuh seperti abu. Jadi tidakkah Ibu tau?
Aku sedang menangis untukmu.


With silent cry..
Semarang, 24 April 2013

Song: Mariah Carey_When You Believe ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar