Fajar
yang sejuk, selepas makan sahur serta solat subuh di kediamanku. Tidak lebar
memang, tidak juga mewah. Hanya sebuah gubuk sederhana dengan paduan genting,
dinding, jendela, tiga ruang kamar, satu ruang belajar, dan satu lagi ruang
sholat, kemudian dapur. Sangat sederhana, tetapi akan sangat mewah dan gemerlap
seperti hotel bintang lima ketika anak, menantu, serta cucu-cucuku hadir
memenuhi senyap dengan ramai yang tiada pernah bisa digantikan dengan segala
bahagia lainnya. Selain berbaur tawa bersama mereka. Iya, detik-detik menuju
hari raya idul fitri dikediamanku pasti akan seramai ini...
Bagaimana tidak, aku memiliki delapan
anak dan enam dari mereka telah memberikanku cerita baru dengan tawa cucu-cucu
pelipur senduku. Bahkan aku hampir selalu lupa menyebutkan nama mereka satu-persatu.
Iya.. aku bisa memanggil satu cucu dengan lima atau bahkan enam kali sebutan
nama, untuk memastikan bahwa itu benar memang namanya... seperti misalnya, yang
ingin aku panggil Niki, aku harus menyebut “Ko, Cha, Nda, Ka, Yu, Ning, sampai
Ki”.. yang tanpa kusadari selalu membuat mereka tertawa terbahak-bahak acapkali
aku memanggil seperti itu.. Iya.. ramai bukan? Aku bahagia. Hanya dengan
melihat, mendengar, dan menggendong atau bahkan mencium pipi-pipi kecil
mereka.. Disitulah tinggal sisa bahagiaku. Bukan dari harta atau kemewahan
lainnya. Bahagia paling membahagiakan dalam hidupku. Bukan hanya sekedar
harta.. Bukan..
***
Hari ini.. hari terakhir menjalani puasa di bulan Ramadhan, esok hari sudah Idul Fitri. Ini akan sangat ramai sekali. Dapur akan penuh dengan asap. Dengan bulu-bulu ayam serta potongan-potongan daging yang siap untuk dijadikan opor. Juga janur-janur kuning yang sedang beramai-ramai dianyam untuk segera dijadikan wadah bagi ketupat-ketupat lebaran. Juga tawa serta lari-larian cucu-cucu kecilku yang menambah ramai ini semakin pecah..
Iya.. Istriku akan sibuk didapur
menjadi kepala dapur yang akan menyiapkan dan memimpin segala masakan yang akan
segera dimasak. Entah menjadi opor kah itu.. entah menjadi ketupat kah itu..
Disitu Istriku memandu anak dan menantu perempuan nya untuk bersama-sama
menanak segala masakan itu untuk segera bisa disantap pada keesokan harinya..
Istriku memang sedikit cerewet. Dia
akan memarahiku acapkali aku lalai atau tidak menjalankan pekerjaan dengan
benar. Istriku akan mengomel sepanjang waktu sampai aku benar-benar menjalani
pekerjaanku dengan benar. Seperti zakat fitrah yang hampir terlupakan, seperti
bunga untuk ziarah yang hampir terlupakan, seperti kambing ternak yang lupa
digiring untuk dimasukkan ke kandang nya, seperti ayam-ayam dan itik yang harus
segera diberi pakan nya. Seperti selalu menasehatiku untuk tidak makan terlalu
pedas, karena efeknya akan membuatku bersin-bersin tanpa henti. Benar sekali..
bahkan cucu-cucuku suka menghitung sampai berapa kali hitungan bersinku akan
terhenti.
Iya..
Istriku selalu se-cerewet itu mengingatkan dan menasehatiku..Meski terkadang
aku masih selalu lupa dan selalai itu. Masih saja akan selalu membuatnya
se-cerewet itu. Se-bawel itu...
***
Tapi hari ini berbeda..
Meski
dapur masih tetap sama, masih banyak anak dan menantu perempuanku yang sibuk
menanak segala persiapan untuk makan di esok hari.. Meski cucu-cucuku masih
berlari-larian dan bercanda gurau seramai itu. Meski Tempat dan waktunya masih
begitu. Masih ramai dan tidak sendu senyap..
Tapi
ini berbeda.. sampai beberapa jeda aku menghela nafas panjang. Menatap senyum
dan canda cucu-cucuku...
Lalu
perlahan berjalan membawa bunga-bunga dan sepucuk buku Yasin.. Aku berjalan
kaki menuju tempat dimana dulu seseorang yang berada disini pernah menjadi
bagian paling membahagiakan dalam hidupku..
Jemariku gemetar..
Menaburkan bunga-bunga di peraduan terakhirnya...
Menaburkan bunga-bunga di peraduan terakhirnya...
Mendongengkannya dengan surat Yasin..
Juga dengan Doa kepada cinta yang tiada pernah habisnya...
Juga dengan Doa kepada cinta yang tiada pernah habisnya...
Meski rasanya masih se-Getir ini...
Melepaskan Ikhlas untuk cinta dan bahagianya disana...
Istriku...
Melepaskan Ikhlas untuk cinta dan bahagianya disana...
Istriku...
Yang Tiada
pernah ku lupakan jerih payah dan cintanya kepadaku ..
Yang sedang berbahagia disanaa...
Yang sedang berbahagia disanaa...
Karena
berkelimpahan akan doa dan cinta dari anak, menantu, serta cucu-cucunya.. yang
tiada pernah terputus untuknya..
Istriku..
Satu-satunya
cinta kepada Hawa yang Tuhan ciptakan untukku..
Untuk
keluargaku..... :’)
(Cerita ini didedikasikan untuk Eyang Kakung dan Alm. Eyang Putri
serta keluarga besar yang tiada Pernah habis masanya)
Salam sayang dari cucu..
Virqi W. Bianti
Semarang, 14 Januari 2014
Read More......
Fajar
yang sejuk, selepas makan sahur serta solat subuh di kediamanku. Tidak lebar
memang, tidak juga mewah. Hanya sebuah gubuk sederhana dengan paduan genting,
dinding, jendela, tiga ruang kamar, satu ruang belajar, dan satu lagi ruang
sholat, kemudian dapur. Sangat sederhana, tetapi akan sangat mewah dan gemerlap
seperti hotel bintang lima ketika anak, menantu, serta cucu-cucuku hadir
memenuhi senyap dengan ramai yang tiada pernah bisa digantikan dengan segala
bahagia lainnya. Selain berbaur tawa bersama mereka. Iya, detik-detik menuju
hari raya idul fitri dikediamanku pasti akan seramai ini...
Bagaimana tidak, aku memiliki delapan
anak dan enam dari mereka telah memberikanku cerita baru dengan tawa cucu-cucu
pelipur senduku. Bahkan aku hampir selalu lupa menyebutkan nama mereka satu-persatu.
Iya.. aku bisa memanggil satu cucu dengan lima atau bahkan enam kali sebutan
nama, untuk memastikan bahwa itu benar memang namanya... seperti misalnya, yang
ingin aku panggil Niki, aku harus menyebut “Ko, Cha, Nda, Ka, Yu, Ning, sampai
Ki”.. yang tanpa kusadari selalu membuat mereka tertawa terbahak-bahak acapkali
aku memanggil seperti itu.. Iya.. ramai bukan? Aku bahagia. Hanya dengan
melihat, mendengar, dan menggendong atau bahkan mencium pipi-pipi kecil
mereka.. Disitulah tinggal sisa bahagiaku. Bukan dari harta atau kemewahan
lainnya. Bahagia paling membahagiakan dalam hidupku. Bukan hanya sekedar
harta.. Bukan..
***
Hari ini.. hari terakhir menjalani puasa di bulan Ramadhan, esok hari sudah Idul Fitri. Ini akan sangat ramai sekali. Dapur akan penuh dengan asap. Dengan bulu-bulu ayam serta potongan-potongan daging yang siap untuk dijadikan opor. Juga janur-janur kuning yang sedang beramai-ramai dianyam untuk segera dijadikan wadah bagi ketupat-ketupat lebaran. Juga tawa serta lari-larian cucu-cucu kecilku yang menambah ramai ini semakin pecah..
Iya.. Istriku akan sibuk didapur
menjadi kepala dapur yang akan menyiapkan dan memimpin segala masakan yang akan
segera dimasak. Entah menjadi opor kah itu.. entah menjadi ketupat kah itu..
Disitu Istriku memandu anak dan menantu perempuan nya untuk bersama-sama
menanak segala masakan itu untuk segera bisa disantap pada keesokan harinya..
Istriku memang sedikit cerewet. Dia
akan memarahiku acapkali aku lalai atau tidak menjalankan pekerjaan dengan
benar. Istriku akan mengomel sepanjang waktu sampai aku benar-benar menjalani
pekerjaanku dengan benar. Seperti zakat fitrah yang hampir terlupakan, seperti
bunga untuk ziarah yang hampir terlupakan, seperti kambing ternak yang lupa
digiring untuk dimasukkan ke kandang nya, seperti ayam-ayam dan itik yang harus
segera diberi pakan nya. Seperti selalu menasehatiku untuk tidak makan terlalu
pedas, karena efeknya akan membuatku bersin-bersin tanpa henti. Benar sekali..
bahkan cucu-cucuku suka menghitung sampai berapa kali hitungan bersinku akan
terhenti.
Iya..
Istriku selalu se-cerewet itu mengingatkan dan menasehatiku..Meski terkadang
aku masih selalu lupa dan selalai itu. Masih saja akan selalu membuatnya
se-cerewet itu. Se-bawel itu...
***
Tapi hari ini berbeda..
Meski
dapur masih tetap sama, masih banyak anak dan menantu perempuanku yang sibuk
menanak segala persiapan untuk makan di esok hari.. Meski cucu-cucuku masih
berlari-larian dan bercanda gurau seramai itu. Meski Tempat dan waktunya masih
begitu. Masih ramai dan tidak sendu senyap..
Tapi
ini berbeda.. sampai beberapa jeda aku menghela nafas panjang. Menatap senyum
dan canda cucu-cucuku...
Lalu
perlahan berjalan membawa bunga-bunga dan sepucuk buku Yasin.. Aku berjalan
kaki menuju tempat dimana dulu seseorang yang berada disini pernah menjadi
bagian paling membahagiakan dalam hidupku..
Jemariku gemetar..
Menaburkan bunga-bunga di peraduan terakhirnya...
Menaburkan bunga-bunga di peraduan terakhirnya...
Mendongengkannya dengan surat Yasin..
Juga dengan Doa kepada cinta yang tiada pernah habisnya...
Juga dengan Doa kepada cinta yang tiada pernah habisnya...
Meski rasanya masih se-Getir ini...
Melepaskan Ikhlas untuk cinta dan bahagianya disana...
Istriku...
Melepaskan Ikhlas untuk cinta dan bahagianya disana...
Istriku...
Yang Tiada
pernah ku lupakan jerih payah dan cintanya kepadaku ..
Yang sedang berbahagia disanaa...
Yang sedang berbahagia disanaa...
Karena
berkelimpahan akan doa dan cinta dari anak, menantu, serta cucu-cucunya.. yang
tiada pernah terputus untuknya..
Istriku..
Satu-satunya
cinta kepada Hawa yang Tuhan ciptakan untukku..
Untuk
keluargaku..... :’)
(Cerita ini didedikasikan untuk Eyang Kakung dan Alm. Eyang Putri
serta keluarga besar yang tiada Pernah habis masanya)
Salam sayang dari cucu..
Virqi W. Bianti
Semarang, 14 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar